Mungkinkah Penemunya Mendapatkan Nobel?
”PENEMUAN larutan divine merupakan mahakarya dalam ilmu pengetahuan yang bisa menjadi tonggak peningkatan kesehatan berdasarkan kearifan lokal,” kata Guru Besar Bagian Patologi Anatomi FK Undip, Prof Dr Sarjadi SpPA (K) dalam keterangan pers yang dikirim ke berbagai media, Juni lalu.
Larutan divine yang ditemukan oleh Dr Greta Zahar itu dikembangkan bersama Prof Sutiman dengan perspektif nanobiologi. Jika dioleskan ke rokok lalu rokoknya dibakar, asapnya bisa mengatasi penyakit kanker, autis, serta meningkatkan secara optimal kondisi sehat manusia.
Tidak hanya untuk manusia, partikel asap divine kretek ini, dalam penelitian yang sudah dilakukan dan masih terus dikembangkan, juga mampu meningkatkan hasil dan kualitas tanaman-tanaman kedelai, anggrek, serta padi. Tanaman-tanaman itu juga tahan terhadap hama penyakit tanaman.
Menurut Sarjadi, Indonesia kaya berbagai macam tanaman yang berpotensi tinggi masuk ke lingkup pengobatan modern, di antaranya daun tembakau. Namun, diakuinya, riset komprehensif terhadap manfaat daun tembakau terlihat stagnan, akibat citra negatif terhadap daun tembakau sebagai penyebab sakit dan kematian.
”Citra itu terbentuk karena gencarnya pemberitaan tentang bahaya merokok. Sebaliknya tidak ada penelitian atau tulisan ilmiah yang memberitakan bahwa daun tembakau bermanfaat untuk kesehatan, sampai akhirnya muncul temuan divine kretek oleh Dr Greta ini,” kata Sarjadi.
Mungkinkah Dr Greta yang menemukan larutan divine dan metoda penyembuhan penyakit dengan perspektif radikal bebas sebagai sumber utamanya, bisa memperoleh Nobel di bidang sains?
Pertanyaan itu sempat muncul dalam bincang-bincang Suara Merdeka dengan Prof Sutiman dan dr Saraswati beberapa waktu lalu. Ahli biologi molekuler itu dengan tenang mengatakan, hal itu bukan mustahil, karena temuan yang dihasilkan Greta tergolong luar biasa.
”Tapi kita tahu tidak mudah mendapatkannya. Belum ada orang Asia yang mendapatkan Nobel di bidang sains, baru di bidang perdamaian dan sastra. Jalan yang harus ditempuh untuk Nobel panjang sekali. Antara lain, temuan-temuan ini bisa masuk dalam publikasi internasional. Tidak mudah menembus sindikasi yang dikuasai orang-orang Amerika dan Eropa,” katanya.
Nobel penting, kata Prof Sutiman. Tetapi yang lebih penting adalah mengungkapkan latar belakang sains di balik berbagai obat-obatan dan pengobatan tradisional yang turun temurun dilakukan masyarakat, misalnya jamu.
”Kami memulai dengan riset di kretek, yang merupakan salah satu temuan dan aset penting dari bangsa kita. Senang sekali jika kemudian juga bisa mengungkap lainnya.î
Terapi dengan asap (rokok) kretek ini memang kontroversial. Pastilah banyak ”musuh”-nya, karena selama ini rokok dicitrakan sebagai sumber penyakit. Tetapi semuanya bisa dijelaskan secara saintis.
Pendekatan sains medis modern memang cenderung reduksionistis. Banyak simplifikasi dan asumsi yang menyertainya. Termasuk ketika melihat rokok, yang dianggap sangat berbahaya karena punya kandungan nikotin dan tar yang bersifat karsinogen (pemicu kanker).
Dengan cara pandang ini, kretek dinilai lebih berbahaya dibanding rokok filter, lalu kretek filter lebih berbahaya dibanding rokok putih.
Faktanya, menurut Sutiman, ada 11.000 zat di dalam rokok yang saling terikat dan saling menetralisir. Memang, kalau nikotin dan tar itu berdiri sendiri, mereka bersifat karsinogen, sama seperti asap kendaraan bermotor atau asap bakaran sate. Tetapi jika terikat dengan lainnya, mereka menjadi netral.
Alumnus Universitas Nagoya Jepang itu menganalogikan, setiap inci persegi kulit manusia mengadung 32 juta bakteri. Tentu mengerikan jika membayangkan seluruh bakteri ini bisa menjadi sumber penyakit. Faktanya, sebagian besar jasad-jasad renik itu justru penting untuk daya tahan hidup kita.
Fisika Kuantum
Perkembangan sains yang radikal telah menghadirkan fisika kuantum. Jika dengan fisika Newton, kita hanya mengenal komponen atom-atom yang besar, yang tunduk pada hukum gravitasi, maka dengan fisika kuantum kita dituntun untuk melihat unsur-unsur supermikro, yaitu nano.
Dalam dua dimensi, nanometer seukuran dengan sepersemilyar meter atau sepuluh pangkat minus sembilan meter. Mikroskop elektron termodern hanya bisa melihat ukuran 100 nanometer. ”Ukuran nano hanya bisa diimajinasikan. Misalnya DNA,” katanya.
Dengan pendekatan fisika kuantum ini, lanjut Sutiman, kita bisa melihat bahwa asap rokok adalah kumpulan partikel-partikel, ada yang besar dan punya potensi karsinogen jika tak terikat komponen lain, ada juga yang sangat renik yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Dengan cara pandang fisika kuantum itu sangatlah mungkin dihasilkan divine kretek yang bermanfaat bagi kehidupan. Pada prinsipnya divine kretek adalah konversi dari kretek biasa menjadi asap divine yang mengandung struktur nano yang kompleks yang dapat memasok elektron dalam ukuran mililevel volt.
”Dalam ukuran nano, yang terjadi adalah medan gaya listrik. Asap divine bisa berfungsi suplai energi, sekaligus menangkap radikal bebas Hg yang menjadi sumber penyakit,” kata Sutiman. Sutiman, yang bukan perokok, saat ini pun turut mengisap divine rokok, sama seperti istrinya yang menjadikan divine rokok bagian dari terapinya.
”Asap divine rokok mensuplai energi lebih efisien dibanding makanan,” tuturnya. (Anto Prabowo-43)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar